Kringgg…,
bel tanda pelajaran usai berdering renyah. Para siswa SMU Eaton bersiap-siap
membubarkan diri dari pelajaran yang menguras waktu mereka. Aku berjalan ringan
menuju gerbang sekolah, hum…udara malam ini lumayan hangat untuk musim gugur
kali ini.
“Jaggi…!”
seseorang tiba-tiba merangkulku dari samping. Aku segera menoleh ke arahnya,
senyumku mengembang. “Kita jalan-jalan dulu ya sebelum pulang!” ajaknya.
“Huh… kamu sih enak tidak perlu
belajar keras untuk ulangan mid mendatang jadi bisa keluyuran ke mana saja
sementara aku?!” balasku.
“Ayolah… jarang kita bisa jalan
bersama, ulangan jangan dijadikan momok, hadapi dengan senyuman!” bujuknya.
“Kalau ulanganku hanya kuhadapi
dengan senyuman maka hasilnya pasti jeblok dan ayahku pasti menggantungku”
“Ayolah
jaggi, ya… aku janji akan menemanimu
belajar!” dia memohon. Aku tersenyum melihatnya seperti itu, sebenarnya aku
juga ingin mengajaknya jalan namun dia duluan yang meminta makanya aku sok jual
mahal. Langkahku dengannya terhenti di pelataran parkir, dia menarik skuternya
dari jajaran kendaraan beroda dua di parkiran. Beberapa saat kemudian skuternya
berbunyi, dia menyodorkan helm padaku.
“Hye
Na…!” seseorang tiba-tiba menegurku, aku berbalik,
“Ini
jadwal pertandingan…” Hyun Joong menyodorkan selembar kertas untukku.
“Gomawo…!”
balasku. Setelah itu dia melirik ke arah Min Ho yang telah siap dengan
skuternya, dia membungkukkan sedikit badannya tanda memberi salam pada pacarku
itu. Dia pun segera naik ke mobil mewah yang telah menunggunya sedari tadi.
Namaku
Jung Hye Na, aku siswi tingkat ke tiga di SMU Eaton. Lee Min Ho adalah pacarku,
kami jadian setahun yang lalu. Dia siswa pindahan dari Gwangju saat masih di
tingkat dua, dia salah satu siswa berprestasi di sekolahku. Waktu masih jadi
murid baru dia telah memboyong peringkat dua umum di sekolahku, selain jago
dalam pelajaran dia juga sangat perpotensi dalam olahraga. Dia dan Hyun Joong
tergabung dalam klub sepak bola yang tegolong klub elit di sekolahku.
Sementara
Hyun Joong…, bisa dibilang dia pangeran sekolah kami. Pangeran impian semua
siswi, pangeran sempurna yang memiliki segalanya, ketampanan, kepintaran,
kekayaan, dan kesopanan. Dia seorang anak pengusaha handal di Korea, dia siswa
nomor satu di sekolah kami, telah empat kali semester dan yang memegang
peringkat pertama adalah dirinya. Sementara aku… ah sudahlah! Aku hanya siswi
biasa yang tak punya nama. Seandainya aku bukan menejer klub bola dan pacarnya
Min Ho, pasti tak akan ada yang mengenalku.
^.^
Aku
sibuk memeriksa kelengkapan latihan sore ini, kulihat Hyun Joong malah sibuk
membereskan lockernya, dia nampak memasukkan beberapa barang ke dalam tas
plastik yang cukup besar.
“Dapat
hadiah lagi?!” tanyaku, dia mengangguk. “Enak yah kalau jadi idola, setiap hari
dapat hadiah…” lanjutku.
“Kau
mau? Ada banyak biskuit dan coklat!” tawarnya. Aku menggeleng, biskuit dan
coklat? Mereka musuhku, kalau makan sedikit saja, berat badanku pasti
bertambah.
“Berikan
pada yang lain saja, kan sayang kalau dibuang!” saranku.
“Jaggi…!” seseorang memanggilku,
panggilan khas seorang Lee Min Ho padaku.
“Kau
tergabung di kelompok B berhadapan dengan kelompok A, kelompoknya Hyun Joong.”
Jelasku saat dia mendekat. “Ommo… kenapa wajahmu?!” tanyaku saat melihat ada
goresan di pelipisnya.
“Oh…tertimpa
barang-barang di gudang saat aku membersihkannya. Sudah… tidak apa-apa!” dia
menghentikan aku yang segera mengambil obat merah.
“Ayo
ke lapangan, kasihan yang lain telah menunggu!” ajak Hyun Joong. Kami pun
mengikuti sarannya, aku dan Min Ho menyusul di belakang.
Sepanjang
latihan permainan timku sangat bagus, beberapa kali pelatih memberi tepuk
tangan selamat untuk mereka. Dua jam kemudian latihan usai, Min Ho berlari-lari
kecil ke arahku, peluh membasahi tubuhnya, dia terlihat begitu kelelahan. Aku
segera menyodorkan handuk padanya,
“Huh…
kalian semakin mesra saja, aku jadi iri!” Sang Bum memandang kami dengan wajah
manyun plus kelelahannya.
“Kalau
begitu panggil So Eun ke sini untuk menyemangatimu!” balas Min Ho
“Dia
tak akan berani, So Eun lagi ngambek padanya!” sambung Joon yang sekelas dengan
So Eun. Aku menyodorkan air mineral untuk ke tiga member klubku.
“Palingan…
dia lupa pada janjian mereka…!” tebakku.
“Ya…
tepat sekali menejer! So Eun sampai menunggu dua jam di stasiun kereta untuk
kencan dengannya namun dia malah asik main game bersamaku. Dia lupa kalau ada
janji dengan pacarnya!” tambah Joon. Kami terkikih bersama kecuali Sang Bum
yang manyun karena ditertawai.
Usai
latihan semua member membersihkan diri di kamar mandi sementara aku masih
berdiskusi bersama pelatih untuk pertandingan mendatang. Beberapa saat
kemudian, Min Ho telah selesai berbenah, penampilannya tampak lebih bersih dan
segar sekarang.
“Kita
ke rumahku!” ajaknya saat aku jalan bergandengan ke pelataran parkir.
“Untuk
apa?” tanyaku
“Bukannya
aku sudah janji akan membantumu belajar?! Kalau di rumahmu kau menolak, katanya
ayahmu menyeramkan makanya aku mengajakmu ke rumahku.” Belum sempat aku
membalas ucapannya…
“Hye
Na!” seseorang memanggilku, aku berbalik, Hyun Joong? Dia berlari kecil ke
arahku. “Kita harus ke pasar tanaman kan?!” tanyanya,
“Ya
ampun aku lupa!” pekikku, kami mendapat tugas biologi dari Ibu Moon untuk
meneliti pertumbuhan tanaman merambat dan kebetulan aku sekelompok dengan Hyun
Joong. “Aduh… bagaiamana ini?” aku memandang Min Ho yang lebih dulu mengajakku.
“Tak
apalah, belajar bersama lain kali saja!” ucap Min Ho diplomatis, aku tersenyum,
syukurlah dia mau mengerti.
“Terima
kasih ya Jaggi !” balasku. Aku
meninggalkannya di pelataran parkir begitu mobil jemputan Hyun Joong datang.
Wah… mobil orang kaya memang berbeda, rasanya begitu nyaman dan sejuk. Aku
tidak tahu banyak mengenai merek mobil tapi yang kutahu pasti, Hyun Joong
sering berganti mobil setiap ada keluaran terbaru dan kurasa kali ini juga
begitu sebab mobil ini berbeda dengan mobil yang menjemputnya kemarin malam.
“Sudah
berapa lama kau berpacaran dengan Min Ho?” tiba-tiba dia membuka percakapan.
“Em…
sekitar setahun!” jawabku. Dia tersenyum, “Kenapa tersenyum?” aku heran
“Aku
penasaran bagaimana kalian bisa dekat sampai akhirnya pacaran, bukankah kalian
berbeda kelas, apa lagi dia anak baru, tentu jarang bersama!” jawabnya. Kali
ini aku yang tersenyum, teringat saat pertama kali aku berkenalan dengannya di
bus.
“Bagaimana
kau bisa menyukainya?” tanyanya lagi, “Apa kelebihannya sehingga kau tertarik
padanya?”
“Kau
seperti mewawancaraiku, memangnya kenapa kau bertanya banyak seperti itu?”
“Karena
aku juga menaksir seorang gadis!” treeeenggg… pengakuannya membuatku kaget,
polos sekali dia! “Aku bertanya begini karena aku ingin tahu apa yang biasa
disukai seorang wanita pada pria!”
“Benarkah?!”
tanyaku.
“Tentu
saja! Aku laki-laki normal sehingga yang kutaksir adalah gadis!”
“Bu…Bukan
itu maksudku! Aku hanya terkejut saja kau bisa berterus terang seperti ini
padaku! Biasanya kan anak lelaki akan malu untuk berbicara soal cinta pada
teman wanitanya.”
“Aku
merasa hanya kaulah temanku, aku tidak tahu harus bicara dengan siapa selain
denganmu.” Ha…ha… aku tertawa,
“Aku
begitu tersanjung mendengarnya, baiklah aku mengerti, katakanlah apa yang dapat
kubantu!” pintaku.
Kami
akhirnya tiba di pasar tanaman, sambil bercerita mengenai gadis taksirannya,
Hyun Joong dan aku memilih tanaman yang akan kami gunakan untuk penelitian. Dia
menaksir seorang gadis yang pernah menolongnya dua tahun yang lalu. Katanya
gadis itu adalah cinta pertamanya, hanya saja dia tidak mau cerita siapa gadis
itu.
“Em…yang
kusuka dari Min Ho… dia anak yang baik, dia sangat pengertian dan menyayangiku.
Dia pemberani dan poin plusnya adalah dia pintar!” aku seperti mempromosikan
pacarku di hadapan Hyun Joong. “Kebanyakan wanita lebih suka kalau pacarnya
berwawasan luas termasuk aku!” lanjutku, Hyun Joong memperhatikanku dengan
seksama.
“Apa
kekayaan perlu?” tanyanya,
“Bagi
sebagian wanita, itu perlu!”
“Lalu
bagimu?”
“Asik
juga sih punya pacar kaya apalagi seperti kamu...” candaku, “…tapi itu bukan
poin utama bagiku, seperti yang kau dengar tadi, aku suka Min Ho karena dia
anak yang baik!” Hyun Joong tersenyum miris mendengar pengakuanku, “Ada apa?”
tanyaku.
“Ah…
tidak apa-apa!” balasnya. Hari ini aku banyak memberi wejangan kepadanya semoga
ini dapat membantunya. Kebetulan kami juga sudah mendapatkan sampel tanaman
yang akan digunakan besok, hingga kami kembali ke rumah masing-masing.
^-^
Pulang sekolah Min Ho mengajakku ke
toko buku, dia banyak bercerita mengenai murid baru di kelasnya. Katanya
pindahan dari Gwangju, dia seorang model, namanya Go Hye Sun. Sepanjang
perjalanan aku terus mendengar profil gadis itu dari Min Ho dan benar-benar
membuatku cemburu. Dia bercerita panjang lebar mengenai seorang gadis, apakah
di belakangku dia juga bercerita tentangku dengan semangat seperti itu?
“Bagiamana penelitian biologimu? Apa
perlu bantuan?” tanyanya.
“Oh…
tidak perlu, aku dan Hyun Joong akan mengerjakannya bersama teman yang lain.”
“Benar!
Hyun Joong… kalau ada dia semua akan beres. Kalau ada ‘si nomor satu’ di
sampingmu, kau tentu tidak memerlukan ‘si nomor dua’!”
“Kau
bicara apa?” aku menatap protes ke arahnya, “Aku tidak suka kau berkata seperti
itu!”
“Eh…bukan
begitu maksudku…”
“Bukan
apanya?!” tantangku. “Siapa bilang aku tidak membutuhkanmu?! Aku tidak suka
kalau kau menyebut dirimu ‘nomor dua’!”
“Iya…iya...
aku minta maaf, jangan marah lagi!” dia merangkulku.
“Memang
ada yang memanggilmu ‘nomor dua’?”
“Banyak!”
“Benarkah?!”
“Uhm…
meski agak kesal tapi aku tak dapat berbuat banyak toh memang seperti itu
adanya.” ucapnya jujur. Aku mengepalkan tanganku, kelewatan sekali mereka. Awas
ya kalau aku sendiri yang mendengarnya, aku pasti akan menyemprot mereka.
“Oh
ya… ini untukmu!” dia menyodorkan buku yang baru saja dibelinya tadi. “Itu
berisi rumus-rumus mudah untuk mate-matika dan persamaan fisika. Kalau buku di
sekolah rumusnya panjang kali lebar, kalau membaca buku itu kau akan mudah
mengerti.”
“Jadi
kau menyuruhku belajar sendiri? Bukannya kau sudah berjanji akan mengajariku?!”
protesku
“Bukannya
kau ada penelitian biologi bersama Hyun Joong?”
“Tapi
tidak setiap saat juga kan aku bersamanya, oh… jadi aku mengijinkanku untuk
diajari Hyun Joong?!”
“Eh…
siapa bilang? Baiklah aku sendiri yang akan membantumu!” dia termakan
candaanku, “Hu… untuk apa minta bantuan orang lain kalau aku sendiri bisa
membantumu?!” kudengar dia berbisik, aku tersenyum.
Hari-hariku
kuhabiskan dengan berbagai kesibukan sekolah, menemani timku latihan,
penelitian biologiku, dan persiapan untuk menghadapi ulangan mid semester.
Setiap jam istirahat aku dan Min Ho bertemu di taman sekolah, kami biasanya
membahas pelajaran-pelajaran yang barusan diterima dan tidak jarang dia
membantuku mengerjakan tugas dari guru. Aku merasa kemampuan akademikku semakin
meningkat semenjak aku berkenalan dengan Min Ho. Sebagai pacarnya, tentu aku
tidak mau mempermalukan diriku pada teman-temannya. Meski tidak dapat
menyamainya, paling tidak aku jangan membuatnya malu!
Malam
ini dia tidak dapat mengantarku pulang, katanya ada tugas sekolah yang harus
dia kerjakan bersama teman-teman sekelasnya. Aku jalan bersama Sang Bum dan
Joon ke halte bus, Min Ho meminta mereka untuk menemaniku. Dia pasti masih
trauma dengan kejadian di bus setahun yang lalu, he…he… bukannya aku yang harus
trauma?!
“Huft…
ulangan mid sebentar lagi tiba, aku jadi tidak bersemangat!” keluh Joon
“Memang
dari dulu kau tidak pernah bersemangat kalau menyangkut pelajaran!” ejek Sang
Boom.
“Benar!”
balas Joon girang, heh…
bukannya marah, dia malah senang. “Aku memang cuma tertarik pada bola, bola,
dan bola!” lanjutnya.
“Kalau
begitu kau harus berjuang keras agar SMU kita bisa bertanding di laga
Nasional!” ucapku.
“Tentu
menejer!” balasnya singkat, “Aku akan menyamai kehebatan Leonardo Di Caprio
dalam menggiring bola ke gawang!” aku dan Sang Bum memandang heran ke arahnya,
“Memangnya
kau mau main bola di kapal Titanic?” tanya Sang Bum.
“Mungkin
maksudmu Christian Ronaldo?” tanyaku
“Memang
tadi aku bilang apa?!” yah… lemotnya Joon kambuh lagi.
“Busnya
datang…” ucap Sang Bum, “Ayo… tak perlu pedulikan dia!” sambungnya sambil
menarik tanganku ke arah bus. Joon masih berdiri bengong karena pertanyaannya
belum di jawab.
“Ayo
naik!” perintahku. Baru saja bus akan berangkat, tiba-tiba ada siswa yang
ketinggalan. Segera bus berhenti agar siswa itu bisa naik, aku, Joon, dan Sang
Bum melongo begitu melihat ternyata Hyun Joong yang ketinggalan. Dia segera
mengambil tempat di samping Joon yang duduk sendiri.
“Mobilmu
rusak?” tanya Joon, Hyun Joong menggeleng sambil tersenyum, “Lalu kenapa kau
naik bus?”
“Cuma
penasaran bagaimana rasanya naik angkutan umum!” aku dan Sang Bum tersenyum
geli di belakang mendengar pengakuan si anak orang kaya itu.
“Hye
Na… rumahmu di mana?” tiba-tiba dia bertanya padaku.
“Di
Myeong Song Go!” jawabku
“Aku
di Gang San!” lanjut Joon, Hyun Joong kan tidak tanya padamu.
“Ternyata
naik bus sumpek ya! Tidak ada AC-nya!” ucapnya,
“Memang
sumpek makanya kami iri padamu yang setiap hari diantar jemput dengan mobil
mewah!” balas Sang Bum.
Akhirnya
aku tiba di rumah, usai berpamitan dengan teman-temanku aku pun turun dari bus.
Dari dalam bus kulihat Hyun Joong terus mengamatiku, aku pun melambaikan
tanganku padanya dan dia tersenyum.
Akhir-akhir
ini Min Ho sangat sibuk dengan tugas-tugas kelasnya namun dia selalu
menyempatkan waktu untuk menemaniku belajar. Aku sering melihatnya membahas
sesuatu dengan seorang siswi yang baru kulihat, mungkin itulah anak baru yang
pernah diceritakan Min Ho padaku.
“Jaggi…”
aku menemui Min Ho di kelasnya setelah lama menunggunya di taman saat istirahat
siang.
“Ah…
Hye Na!” Min Ho menghampiriku, dia sedang membahas sesuatu bersama beberapa
temannya termasuk anak baru itu. “Maaf, aku sangat sibuk. Ada tugas sejarah
dari Pak Byun.”
“Tak
apa, aku hanya ingin tahu kenapa kau tidak datang ke taman. Oh ya… Ini
kubuatkan untukmu, jangan terlambat dimakan ya!” aku pun segera berpamitan
dengannya dan kembali ke kelasku. Huft… kenapa aku jadi sedih begini? Hanya
karena dia tidak bisa menemaniku belajar, padahal aku sendiri berkali-kali
tidak dapat menemaninya karena tugas-tugas kelasku.
“Ini…”
Hyun Joong datang memberi es krim padaku, “PR Kimiamu sudah selesai?” tanyanya,
aku yang baru saja akan mengambil es krim dari tangannya berhenti sejenak
“Memang
ada?” tanyaku
“Tidak
ada! He…he…” candanya, huh…dasar orang ini. Dia menemaniku ngobrol hingga aku
melupakan masalahku tadi.
“Aku
penasaran pada gadis yang kau suka, memangnya siapa dia? Wah… beruntung sekali
gadis itu disukai olehmu!”
“Dia
gadis biasa, suatu saat akan kukenalkan dia padamu!”
“Janji
ya!”
“Iya!”
Akhirnya
hari yang paling menakutkan murid-murid di sekolahku tiba, ya… ulangan mid
semester telah datang. Aku beserta murid yang lain belajar keras agar dapat
mencapai hasil terbaik di akhir nanti. Kali ini peringkatku harus meningkat,
kasihan kan Min Ho bila aku tidak ada peningkatan padahal dia telah bersusah
payah membantuku belajar. Usai menghadapi ulangan mid, sehari kemudian kami
sudah dapat melihat hasilnya sebab perhitungan nilai menggunakan aplikasi
komputer. Sistem ulangan di sekolah kami seperti sistem ujian masuk
universitas, ulangannya menggunakan system denda. Semua itu dilakukan agar kami
terbiasa dengan ulangan system denda sebagai bekal untuk menghadapi ujian masuk
universitas.
Pagi
ini sebelum masuk ke kelas, aku segera ke tempat pengumuman. Di sana telah
bergumul beberapa siswa yang tujuannya sama denganku, melihat hasil ulangan.
“Wah…
Hyun Joong pertama lagi!” ucap beberapa siswa saat melihat hasil di LCD, aku
menoleh ke urutan ke dua, fuih… syukurlah Min Ho masih dapat mempertahankan
nilainya. Aku sampai takut Min Ho kehilangan peringkat sebab dia jadi jarang
belajar karena harus membantuku.
“Jaggi!”
Min Ho menegurku dari samping.
“Kau
mempertahankan peringkatmu, selamat ya!” ucapku.
“Sudah
tahu kau peringkat berapa?” tanyanya. Aku menggeleng, reflex aku mencari namaku
di urutan 30-an ke bawah sebab peringkat terakhirku adalah 30.
“Nomor
17!” ucap Min Ho, aku pun melihat ke angka 17, betul di sampingnya tertulis
nama Jung Hye Na. “Chukae Jaggi!”
“He…he…
dibanding kamu, aku tidak ada apa-apanya!” balasku.
“Jaggi…
kau di urutan 17 dari 150 siswa! Bukankah itu hebat?!”
“Ya…
aku hebat ya!” pujiku sendiri, “…Tapi semua berkat bantuanmu juga!” lanjutku.
“Hei
… ‘nomor dua’ kau dipanggil oleh Pak Byun!” tiba-tiba seorang siswa menegur Min
Ho. Pacarku itu menarik napas, dia segera menghentikan langkah siswa itu yang
baru saja akan pergi.
“Aku
punya nama, Lee Min Ho, tak perlu memanggilku dengan sebutan seperti itu!”
“Bukannya
memang seperti itu?!” siswa itu mencoba membela diri. Min ho terlihat kesal dan
sepertinya akan memukul siswa itu.
“Sudah…jangan
diperpanjang lagi!” aku mencoba menarik Min Ho agar melepaskan siswa itu. Min
Ho berjalan penuh kekesalan meninggalkan tempat itu, aku pun mengejarnya dari
belakang.
“Sudahlah…
jangan dimasukkan ke hati!” bujukku. “Dia hanya iri padamu, dia sendiri ada di
urutan ke berapa sih? Bahkan masuk 50 besar saja kurasa tidak, jadi dia bicara
seenaknya begitu padamu…” Min Ho terus berjalan tidak menggubrisku. Hmp… aku
memutar arah jalanku, aku kembali ke tempat pengumuman tadi. Kulihat siswa yang
tadi mengatai Min Ho.
“Hei
kau! Aku ingin bicara denganmu!” suaraku lantang meneriaki anak itu. Beberapa siswa
menoleh padaku,“Kau tahu namanya tapi kau memanggilnya dengan sebutan lain, kau
mau cari gara-gara ya?”
“Hei
… tak perlu marah, memang begitu keadaannya kan?!” balas siswa itu.
“Kau
ada di urutan berapa?! Kalau kau ada di urutan 50 apa kau tidak keberatan
kupanggil ‘si lima puluh’?” siswa itu diam, “Kau bahkan tak dapat menyamainya
tapi masih berani mengejeknya, dasar tidak tahu diri!” lanjutku.
“Tidak
pernah belajar moral ya?” tiba-tiba Hyun Joong membantuku dari belakang.
“Maaf
deh… tak perlu berlebihan seperti ini kan!” balas siswa itu,
“Kau
tidak tahu rasanya makanya kau menganggap ini enteng!” lanjut Hyun Joong.
“Aku
mau kau minta maaf pada Min Ho!” timpalku.
“Tidak
perlu separah itu kan?!” siswa itu menolak
“Kau
mau minta maaf atau tidak?” Hyun Joong menarik kerah baju anak itu, wah… Hyun
Joong kau tidak perlu separah itu. Akhirnya berkat bantuannya, siswa itu
menyanggupi untuk meminta maaf pada Min Ho.
Hatinya
terlanjur sakit, itu jelas terlihat dari permainannya saat latihan. Meski siswa
yang mengejeknya telah meminta maaf namun kurasa panggilan itu terus terngiang
di telinganya. Rasanya memang sakit, aku saja sampai kesal setengah mati pada
siswa yang mengejeknya.
To be
continued
No comments:
Post a Comment