Thursday 19 February 2015

FF My Number One - Part 1



Kringgg…, bel tanda pelajaran usai berdering renyah. Para siswa SMU Eaton bersiap-siap membubarkan diri dari pelajaran yang menguras waktu mereka. Aku berjalan ringan menuju gerbang sekolah, hum…udara malam ini lumayan hangat untuk musim gugur kali ini.
            “Jaggi…!” seseorang tiba-tiba merangkulku dari samping. Aku segera menoleh ke arahnya, senyumku mengembang. “Kita jalan-jalan dulu ya sebelum pulang!” ajaknya.
            “Huh… kamu sih enak tidak perlu belajar keras untuk ulangan mid mendatang jadi bisa keluyuran ke mana saja sementara aku?!” balasku.
            “Ayolah… jarang kita bisa jalan bersama, ulangan jangan dijadikan momok, hadapi dengan senyuman!” bujuknya.
            “Kalau ulanganku hanya kuhadapi dengan senyuman maka hasilnya pasti jeblok dan ayahku pasti menggantungku”
“Ayolah jaggi, ya… aku janji akan menemanimu belajar!” dia memohon. Aku tersenyum melihatnya seperti itu, sebenarnya aku juga ingin mengajaknya jalan namun dia duluan yang meminta makanya aku sok jual mahal. Langkahku dengannya terhenti di pelataran parkir, dia menarik skuternya dari jajaran kendaraan beroda dua di parkiran. Beberapa saat kemudian skuternya berbunyi, dia menyodorkan helm padaku.
“Hye Na…!” seseorang tiba-tiba menegurku, aku berbalik,
“Ini jadwal pertandingan…” Hyun Joong menyodorkan selembar kertas untukku.
“Gomawo…!” balasku. Setelah itu dia melirik ke arah Min Ho yang telah siap dengan skuternya, dia membungkukkan sedikit badannya tanda memberi salam pada pacarku itu. Dia pun segera naik ke mobil mewah yang telah menunggunya sedari tadi.
Namaku Jung Hye Na, aku siswi tingkat ke tiga di SMU Eaton. Lee Min Ho adalah pacarku, kami jadian setahun yang lalu. Dia siswa pindahan dari Gwangju saat masih di tingkat dua, dia salah satu siswa berprestasi di sekolahku. Waktu masih jadi murid baru dia telah memboyong peringkat dua umum di sekolahku, selain jago dalam pelajaran dia juga sangat perpotensi dalam olahraga. Dia dan Hyun Joong tergabung dalam klub sepak bola yang tegolong klub elit di sekolahku.
Sementara Hyun Joong…, bisa dibilang dia pangeran sekolah kami. Pangeran impian semua siswi, pangeran sempurna yang memiliki segalanya, ketampanan, kepintaran, kekayaan, dan kesopanan. Dia seorang anak pengusaha handal di Korea, dia siswa nomor satu di sekolah kami, telah empat kali semester dan yang memegang peringkat pertama adalah dirinya. Sementara aku… ah sudahlah! Aku hanya siswi biasa yang tak punya nama. Seandainya aku bukan menejer klub bola dan pacarnya Min Ho, pasti tak akan ada yang mengenalku.
^.^
Aku sibuk memeriksa kelengkapan latihan sore ini, kulihat Hyun Joong malah sibuk membereskan lockernya, dia nampak memasukkan beberapa barang ke dalam tas plastik yang cukup besar.
“Dapat hadiah lagi?!” tanyaku, dia mengangguk. “Enak yah kalau jadi idola, setiap hari dapat hadiah…” lanjutku.
“Kau mau? Ada banyak biskuit dan coklat!” tawarnya. Aku menggeleng, biskuit dan coklat? Mereka musuhku, kalau makan sedikit saja, berat badanku pasti bertambah.
“Berikan pada yang lain saja, kan sayang kalau dibuang!” saranku.
Jaggi…!” seseorang memanggilku, panggilan khas seorang Lee Min Ho padaku.
“Kau tergabung di kelompok B berhadapan dengan kelompok A, kelompoknya Hyun Joong.” Jelasku saat dia mendekat. “Ommo… kenapa wajahmu?!” tanyaku saat melihat ada goresan di pelipisnya.
“Oh…tertimpa barang-barang di gudang saat aku membersihkannya. Sudah… tidak apa-apa!” dia menghentikan aku yang segera mengambil obat merah.
“Ayo ke lapangan, kasihan yang lain telah menunggu!” ajak Hyun Joong. Kami pun mengikuti sarannya, aku dan Min Ho menyusul di belakang.
Sepanjang latihan permainan timku sangat bagus, beberapa kali pelatih memberi tepuk tangan selamat untuk mereka. Dua jam kemudian latihan usai, Min Ho berlari-lari kecil ke arahku, peluh membasahi tubuhnya, dia terlihat begitu kelelahan. Aku segera menyodorkan handuk padanya,
“Huh… kalian semakin mesra saja, aku jadi iri!” Sang Bum memandang kami dengan wajah manyun plus kelelahannya.
“Kalau begitu panggil So Eun ke sini untuk menyemangatimu!” balas Min Ho
“Dia tak akan berani, So Eun lagi ngambek padanya!” sambung Joon yang sekelas dengan So Eun. Aku menyodorkan air mineral untuk ke tiga member klubku.
“Palingan… dia lupa pada janjian mereka…!” tebakku.
“Ya… tepat sekali menejer! So Eun sampai menunggu dua jam di stasiun kereta untuk kencan dengannya namun dia malah asik main game bersamaku. Dia lupa kalau ada janji dengan pacarnya!” tambah Joon. Kami terkikih bersama kecuali Sang Bum yang manyun karena ditertawai.
Usai latihan semua member membersihkan diri di kamar mandi sementara aku masih berdiskusi bersama pelatih untuk pertandingan mendatang. Beberapa saat kemudian, Min Ho telah selesai berbenah, penampilannya tampak lebih bersih dan segar sekarang.
“Kita ke rumahku!” ajaknya saat aku jalan bergandengan ke pelataran parkir.
“Untuk apa?” tanyaku
“Bukannya aku sudah janji akan membantumu belajar?! Kalau di rumahmu kau menolak, katanya ayahmu menyeramkan makanya aku mengajakmu ke rumahku.” Belum sempat aku membalas ucapannya…
“Hye Na!” seseorang memanggilku, aku berbalik, Hyun Joong? Dia berlari kecil ke arahku. “Kita harus ke pasar tanaman kan?!” tanyanya,
“Ya ampun aku lupa!” pekikku, kami mendapat tugas biologi dari Ibu Moon untuk meneliti pertumbuhan tanaman merambat dan kebetulan aku sekelompok dengan Hyun Joong. “Aduh… bagaiamana ini?” aku memandang Min Ho yang lebih dulu mengajakku.
“Tak apalah, belajar bersama lain kali saja!” ucap Min Ho diplomatis, aku tersenyum, syukurlah dia mau mengerti.
“Terima kasih ya Jaggi !” balasku. Aku meninggalkannya di pelataran parkir begitu mobil jemputan Hyun Joong datang. Wah… mobil orang kaya memang berbeda, rasanya begitu nyaman dan sejuk. Aku tidak tahu banyak mengenai merek mobil tapi yang kutahu pasti, Hyun Joong sering berganti mobil setiap ada keluaran terbaru dan kurasa kali ini juga begitu sebab mobil ini berbeda dengan mobil yang menjemputnya kemarin malam.
“Sudah berapa lama kau berpacaran dengan Min Ho?” tiba-tiba dia membuka percakapan.
“Em… sekitar setahun!” jawabku. Dia tersenyum, “Kenapa tersenyum?” aku heran
“Aku penasaran bagaimana kalian bisa dekat sampai akhirnya pacaran, bukankah kalian berbeda kelas, apa lagi dia anak baru, tentu jarang bersama!” jawabnya. Kali ini aku yang tersenyum, teringat saat pertama kali aku berkenalan dengannya di bus.
“Bagaimana kau bisa menyukainya?” tanyanya lagi, “Apa kelebihannya sehingga kau tertarik padanya?”
“Kau seperti mewawancaraiku, memangnya kenapa kau bertanya banyak seperti itu?”
“Karena aku juga menaksir seorang gadis!” treeeenggg… pengakuannya membuatku kaget, polos sekali dia! “Aku bertanya begini karena aku ingin tahu apa yang biasa disukai seorang wanita pada pria!”
“Benarkah?!” tanyaku.
“Tentu saja! Aku laki-laki normal sehingga yang kutaksir adalah gadis!”
“Bu…Bukan itu maksudku! Aku hanya terkejut saja kau bisa berterus terang seperti ini padaku! Biasanya kan anak lelaki akan malu untuk berbicara soal cinta pada teman wanitanya.”
“Aku merasa hanya kaulah temanku, aku tidak tahu harus bicara dengan siapa selain denganmu.” Ha…ha… aku tertawa,
“Aku begitu tersanjung mendengarnya, baiklah aku mengerti, katakanlah apa yang dapat kubantu!” pintaku.

Kami akhirnya tiba di pasar tanaman, sambil bercerita mengenai gadis taksirannya, Hyun Joong dan aku memilih tanaman yang akan kami gunakan untuk penelitian. Dia menaksir seorang gadis yang pernah menolongnya dua tahun yang lalu. Katanya gadis itu adalah cinta pertamanya, hanya saja dia tidak mau cerita siapa gadis itu.
“Em…yang kusuka dari Min Ho… dia anak yang baik, dia sangat pengertian dan menyayangiku. Dia pemberani dan poin plusnya adalah dia pintar!” aku seperti mempromosikan pacarku di hadapan Hyun Joong. “Kebanyakan wanita lebih suka kalau pacarnya berwawasan luas termasuk aku!” lanjutku, Hyun Joong memperhatikanku dengan seksama.
“Apa kekayaan perlu?” tanyanya,
“Bagi sebagian wanita, itu perlu!”
“Lalu bagimu?”
“Asik juga sih punya pacar kaya apalagi seperti kamu...” candaku, “…tapi itu bukan poin utama bagiku, seperti yang kau dengar tadi, aku suka Min Ho karena dia anak yang baik!” Hyun Joong tersenyum miris mendengar pengakuanku, “Ada apa?” tanyaku.
“Ah… tidak apa-apa!” balasnya. Hari ini aku banyak memberi wejangan kepadanya semoga ini dapat membantunya. Kebetulan kami juga sudah mendapatkan sampel tanaman yang akan digunakan besok, hingga kami kembali ke rumah masing-masing.
^-^
            Pulang sekolah Min Ho mengajakku ke toko buku, dia banyak bercerita mengenai murid baru di kelasnya. Katanya pindahan dari Gwangju, dia seorang model, namanya Go Hye Sun. Sepanjang perjalanan aku terus mendengar profil gadis itu dari Min Ho dan benar-benar membuatku cemburu. Dia bercerita panjang lebar mengenai seorang gadis, apakah di belakangku dia juga bercerita tentangku dengan semangat seperti itu?
            “Bagiamana penelitian biologimu? Apa perlu bantuan?” tanyanya.
“Oh… tidak perlu, aku dan Hyun Joong akan mengerjakannya bersama teman yang lain.”
“Benar! Hyun Joong… kalau ada dia semua akan beres. Kalau ada ‘si nomor satu’ di sampingmu, kau tentu tidak memerlukan ‘si nomor dua’!”
“Kau bicara apa?” aku menatap protes ke arahnya, “Aku tidak suka kau berkata seperti itu!”
“Eh…bukan begitu maksudku…”
“Bukan apanya?!” tantangku. “Siapa bilang aku tidak membutuhkanmu?! Aku tidak suka kalau kau menyebut dirimu ‘nomor dua’!”
“Iya…iya... aku minta maaf, jangan marah lagi!” dia merangkulku.
“Memang ada yang memanggilmu ‘nomor dua’?”
“Banyak!”
“Benarkah?!”
“Uhm… meski agak kesal tapi aku tak dapat berbuat banyak toh memang seperti itu adanya.” ucapnya jujur. Aku mengepalkan tanganku, kelewatan sekali mereka. Awas ya kalau aku sendiri yang mendengarnya, aku pasti akan menyemprot mereka. 
“Oh ya… ini untukmu!” dia menyodorkan buku yang baru saja dibelinya tadi. “Itu berisi rumus-rumus mudah untuk mate-matika dan persamaan fisika. Kalau buku di sekolah rumusnya panjang kali lebar, kalau membaca buku itu kau akan mudah mengerti.”
“Jadi kau menyuruhku belajar sendiri? Bukannya kau sudah berjanji akan mengajariku?!” protesku
“Bukannya kau ada penelitian biologi bersama Hyun Joong?”
“Tapi tidak setiap saat juga kan aku bersamanya, oh… jadi aku mengijinkanku untuk diajari Hyun Joong?!”
“Eh… siapa bilang? Baiklah aku sendiri yang akan membantumu!” dia termakan candaanku, “Hu… untuk apa minta bantuan orang lain kalau aku sendiri bisa membantumu?!” kudengar dia berbisik, aku tersenyum.

Hari-hariku kuhabiskan dengan berbagai kesibukan sekolah, menemani timku latihan, penelitian biologiku, dan persiapan untuk menghadapi ulangan mid semester. Setiap jam istirahat aku dan Min Ho bertemu di taman sekolah, kami biasanya membahas pelajaran-pelajaran yang barusan diterima dan tidak jarang dia membantuku mengerjakan tugas dari guru. Aku merasa kemampuan akademikku semakin meningkat semenjak aku berkenalan dengan Min Ho. Sebagai pacarnya, tentu aku tidak mau mempermalukan diriku pada teman-temannya. Meski tidak dapat menyamainya, paling tidak aku jangan membuatnya malu!
Malam ini dia tidak dapat mengantarku pulang, katanya ada tugas sekolah yang harus dia kerjakan bersama teman-teman sekelasnya. Aku jalan bersama Sang Bum dan Joon ke halte bus, Min Ho meminta mereka untuk menemaniku. Dia pasti masih trauma dengan kejadian di bus setahun yang lalu, he…he… bukannya aku yang harus trauma?!
“Huft… ulangan mid sebentar lagi tiba, aku jadi tidak bersemangat!” keluh Joon
“Memang dari dulu kau tidak pernah bersemangat kalau menyangkut pelajaran!” ejek Sang Boom.
“Benar!” balas Joon girang, heh… bukannya marah, dia malah senang. “Aku memang cuma tertarik pada bola, bola, dan bola!” lanjutnya.
“Kalau begitu kau harus berjuang keras agar SMU kita bisa bertanding di laga Nasional!” ucapku.
“Tentu menejer!” balasnya singkat, “Aku akan menyamai kehebatan Leonardo Di Caprio dalam menggiring bola ke gawang!” aku dan Sang Bum memandang heran ke arahnya,
“Memangnya kau mau main bola di kapal Titanic?” tanya Sang Bum.
“Mungkin maksudmu Christian Ronaldo?” tanyaku
“Memang tadi aku bilang apa?!” yah… lemotnya Joon kambuh lagi.
“Busnya datang…” ucap Sang Bum, “Ayo… tak perlu pedulikan dia!” sambungnya sambil menarik tanganku ke arah bus. Joon masih berdiri bengong karena pertanyaannya belum di jawab.
“Ayo naik!” perintahku. Baru saja bus akan berangkat, tiba-tiba ada siswa yang ketinggalan. Segera bus berhenti agar siswa itu bisa naik, aku, Joon, dan Sang Bum melongo begitu melihat ternyata Hyun Joong yang ketinggalan. Dia segera mengambil tempat di samping Joon yang duduk sendiri.
“Mobilmu rusak?” tanya Joon, Hyun Joong menggeleng sambil tersenyum, “Lalu kenapa kau naik bus?”
“Cuma penasaran bagaimana rasanya naik angkutan umum!” aku dan Sang Bum tersenyum geli di belakang mendengar pengakuan si anak orang kaya itu.
“Hye Na… rumahmu di mana?” tiba-tiba dia bertanya padaku.
“Di Myeong Song Go!” jawabku
“Aku di Gang San!” lanjut Joon, Hyun Joong kan tidak tanya padamu.
“Ternyata naik bus sumpek ya! Tidak ada AC-nya!” ucapnya,
“Memang sumpek makanya kami iri padamu yang setiap hari diantar jemput dengan mobil mewah!” balas Sang Bum.
Akhirnya aku tiba di rumah, usai berpamitan dengan teman-temanku aku pun turun dari bus. Dari dalam bus kulihat Hyun Joong terus mengamatiku, aku pun melambaikan tanganku padanya dan dia tersenyum.

Akhir-akhir ini Min Ho sangat sibuk dengan tugas-tugas kelasnya namun dia selalu menyempatkan waktu untuk menemaniku belajar. Aku sering melihatnya membahas sesuatu dengan seorang siswi yang baru kulihat, mungkin itulah anak baru yang pernah diceritakan Min Ho padaku.
“Jaggi…” aku menemui Min Ho di kelasnya setelah lama menunggunya di taman saat istirahat siang.
“Ah… Hye Na!” Min Ho menghampiriku, dia sedang membahas sesuatu bersama beberapa temannya termasuk anak baru itu. “Maaf, aku sangat sibuk. Ada tugas sejarah dari Pak Byun.”
“Tak apa, aku hanya ingin tahu kenapa kau tidak datang ke taman. Oh ya… Ini kubuatkan untukmu, jangan terlambat dimakan ya!” aku pun segera berpamitan dengannya dan kembali ke kelasku. Huft… kenapa aku jadi sedih begini? Hanya karena dia tidak bisa menemaniku belajar, padahal aku sendiri berkali-kali tidak dapat menemaninya karena tugas-tugas kelasku.
“Ini…” Hyun Joong datang memberi es krim padaku, “PR Kimiamu sudah selesai?” tanyanya, aku yang baru saja akan mengambil es krim dari tangannya berhenti sejenak
“Memang ada?” tanyaku
“Tidak ada! He…he…” candanya, huh…dasar orang ini. Dia menemaniku ngobrol hingga aku melupakan masalahku tadi.
“Aku penasaran pada gadis yang kau suka, memangnya siapa dia? Wah… beruntung sekali gadis itu disukai olehmu!”
“Dia gadis biasa, suatu saat akan kukenalkan dia padamu!”
“Janji ya!”
“Iya!”

Akhirnya hari yang paling menakutkan murid-murid di sekolahku tiba, ya… ulangan mid semester telah datang. Aku beserta murid yang lain belajar keras agar dapat mencapai hasil terbaik di akhir nanti. Kali ini peringkatku harus meningkat, kasihan kan Min Ho bila aku tidak ada peningkatan padahal dia telah bersusah payah membantuku belajar. Usai menghadapi ulangan mid, sehari kemudian kami sudah dapat melihat hasilnya sebab perhitungan nilai menggunakan aplikasi komputer. Sistem ulangan di sekolah kami seperti sistem ujian masuk universitas, ulangannya menggunakan system denda. Semua itu dilakukan agar kami terbiasa dengan ulangan system denda sebagai bekal untuk menghadapi ujian masuk universitas.
Pagi ini sebelum masuk ke kelas, aku segera ke tempat pengumuman. Di sana telah bergumul beberapa siswa yang tujuannya sama denganku, melihat hasil ulangan.
“Wah… Hyun Joong pertama lagi!” ucap beberapa siswa saat melihat hasil di LCD, aku menoleh ke urutan ke dua, fuih… syukurlah Min Ho masih dapat mempertahankan nilainya. Aku sampai takut Min Ho kehilangan peringkat sebab dia jadi jarang belajar karena harus membantuku.
“Jaggi!” Min Ho menegurku dari samping.
“Kau mempertahankan peringkatmu, selamat ya!” ucapku.
“Sudah tahu kau peringkat berapa?” tanyanya. Aku menggeleng, reflex aku mencari namaku di urutan 30-an ke bawah sebab peringkat terakhirku adalah 30.
“Nomor 17!” ucap Min Ho, aku pun melihat ke angka 17, betul di sampingnya tertulis nama Jung Hye Na. “Chukae Jaggi!”
“He…he… dibanding kamu, aku tidak ada apa-apanya!” balasku.
“Jaggi… kau di urutan 17 dari 150 siswa! Bukankah itu hebat?!”
“Ya… aku hebat ya!” pujiku sendiri, “…Tapi semua berkat bantuanmu juga!” lanjutku.
“Hei … ‘nomor dua’ kau dipanggil oleh Pak Byun!” tiba-tiba seorang siswa menegur Min Ho. Pacarku itu menarik napas, dia segera menghentikan langkah siswa itu yang baru saja akan pergi.
“Aku punya nama, Lee Min Ho, tak perlu memanggilku dengan sebutan seperti itu!”
“Bukannya memang seperti itu?!” siswa itu mencoba membela diri. Min ho terlihat kesal dan sepertinya akan memukul siswa itu.
“Sudah…jangan diperpanjang lagi!” aku mencoba menarik Min Ho agar melepaskan siswa itu. Min Ho berjalan penuh kekesalan meninggalkan tempat itu, aku pun mengejarnya dari belakang.
“Sudahlah… jangan dimasukkan ke hati!” bujukku. “Dia hanya iri padamu, dia sendiri ada di urutan ke berapa sih? Bahkan masuk 50 besar saja kurasa tidak, jadi dia bicara seenaknya begitu padamu…” Min Ho terus berjalan tidak menggubrisku. Hmp… aku memutar arah jalanku, aku kembali ke tempat pengumuman tadi. Kulihat siswa yang tadi mengatai Min Ho.
“Hei kau! Aku ingin bicara denganmu!” suaraku lantang meneriaki anak itu. Beberapa siswa menoleh padaku,“Kau tahu namanya tapi kau memanggilnya dengan sebutan lain, kau mau cari gara-gara ya?”
“Hei … tak perlu marah, memang begitu keadaannya kan?!” balas siswa itu.
“Kau ada di urutan berapa?! Kalau kau ada di urutan 50 apa kau tidak keberatan kupanggil ‘si lima puluh’?” siswa itu diam, “Kau bahkan tak dapat menyamainya tapi masih berani mengejeknya, dasar tidak tahu diri!” lanjutku.
“Tidak pernah belajar moral ya?” tiba-tiba Hyun Joong membantuku dari belakang.
“Maaf deh… tak perlu berlebihan seperti ini kan!” balas siswa itu,
“Kau tidak tahu rasanya makanya kau menganggap ini enteng!” lanjut Hyun Joong.
“Aku mau kau minta maaf pada Min Ho!” timpalku.
“Tidak perlu separah itu kan?!” siswa itu menolak
“Kau mau minta maaf atau tidak?” Hyun Joong menarik kerah baju anak itu, wah… Hyun Joong kau tidak perlu separah itu. Akhirnya berkat bantuannya, siswa itu menyanggupi untuk meminta maaf pada Min Ho.
Hatinya terlanjur sakit, itu jelas terlihat dari permainannya saat latihan. Meski siswa yang mengejeknya telah meminta maaf namun kurasa panggilan itu terus terngiang di telinganya. Rasanya memang sakit, aku saja sampai kesal setengah mati pada siswa yang mengejeknya.


To be continued


No comments:

Post a Comment